Minggu, 25 Maret 2012

LIMA PERTANYAAN

Alkisah ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Bodhi yang sangat bijaksana dan didampingi dengan permaisurinya yang lembut dan penyayang. Mereka dikaruniai empat putra yang sangat gagah dan tampan bernama Dosa, Lobha, Moha dan Issa. Rakyat di sana hidup damai dan penuh kemakmuran. Rakyat sangat menyayangi raja mereka yang sangat baik dan murah hati. Pertanian dan perdagangan sangat berkembang di kerajaan itu.


Bertahun-tahun berlalu, raja semakin tua. Ia bingung pada siapa tahta kerajaan akan ia wariskan. Ia tidak mungkin mewariskan kerajaan ini pada keempat putranya yang sangat-sangat buruk tabiatnya. Putra sulungnya Dosa, mempunyai hati yang penuh dengan kebencian dan selalu saja menghasut orang lain untuk membenci ayahnya. Putra keduanya Lobha, sangat-sangat serakah. Setiap hari hanya bermalas-malasan dan berfoya-foya. Segala keinginannya harus dipenuhi. Yang ketiga Moha, sangat bodoh. Tak mau mendengar nasehat orang lain dan pekerjaannya sehari-hari hanya bermain-main. Yang keempat Issa, hatinya penuh kedengkian dan iri hati. Tak pernah suka dengan keberhasilan orang lain termasuk ayahnya sendiri.

Keempat pangeran itu sudah berkali-kali melakukan kudeta untuk menjatuhkan ayahnya dan ingin merebut tahta kerajaan, tapi tak pernah berhasil. Sang ayah bersama para menterinya adalah orang-orang yang sangat cerdik dan selalu waspada terhadap semua  yang terjadi di kerajaan.

Raja Bodhi berpikir, "Aku harus mencari penggantiku sebelum aku mangkat. Aku tidak mungkin mewarisi kerajaan ini kepada salah satu dari putra-putraku. Aku tak ingin kerajaan ini hancur. Aku tak ingin rakyat hidup menderita."

Raja mencari akal bagaimana caranya mencari pengganti dirinya. Ia haruslah orang yang terpelajar dan bijaksana. Berhari-hari ia memikirkan itu. Makin hari kesehatannya semakin menurun. Satu hari ia mendapat ide. Ia memanggil beberapa meterinya. Mereka diajak berdiskusi.

Keesokan harinya para prajurit diutus untuk mengumumkan sebuah sayembara. Ya, raja mengadakan sebuah sayembara untuk mencari pengganti dirinya. Raja tak pandang bulu. Semua rakyatnya, mulai dari rakyat biasa sampai para pejabat, termasuk putra-putranya sendiri boleh mengikuti sayembara itu. Pengumuman disebar ke seluruh pelosok negeri.

Berbulan-bulan setelah pengumuman sayembara itu, tak satupun dari para peserta yang memenuhi syarat walau sudah ribuan orang yang mengikutinya. Raja hampir saja putus asa. "Apakah di kerajaan ini tidak ada orang yang bisa menggantikan aku?" tanyanya dalam hati.

"Peserta sayembara dataaaang...!" selagi ia termenung di kursi kebesarannya, ia dikejutkan suara prajuritnya.

"Ampun paduka. Ada dua orang yang ingin mengikuti sayembara tuan," ucap seorang prajurit menghadap seraya memberi hormat.

"Suruh mereka masuk," titah Raja Bodhi.

"Baik, paduka," jawab sang prajurit sambil tetap memberi harmat lalu pergi.

"Ampun paduka, inilah dua orang itu," ucap prajurit itu bersama dua orang pemuda yang tampan dan gagah.

"Kami menghadap paduka," ucap kedua orang peserta itu berbarengan sambil memberi hormat.

"Siapa nama kalian?" tanya Raja Bodhi penuh wibawa.

"Hamba Sila, paduka," jawab salah satu peserta.

"Hamba panna, paduka," jawab yang satunya lagi.

"Hmm... Apakah kalian tahu, sudah banyak yang mengikuti sayembara ini, tapi belum ada satupun yang berhasil?" tanya Raja Bodhi.

"Hamba tahu paduka," jawab mereka masih dalam posisi menghormat.

"Baiklah. Aku ingin tahu. Apa latar belakang kalian, hingga kalian berani mengikuti sayembara ini?" tanya Raja. "Apakah kalian orang-orang yang terpelajar?" tanya Raja Bodhi lagi.

"Kami berasal dari satu perguruan paduka," jawab Sila. "Kami berguru pada orang bijaksana di kerajaan tetangga, tuan. Kami bersahabat. Dan kami baru saja menyelesaikan pendidikan kami," lanjutnya.

"Baiklah. Silakan masuk dalam ruang sayembara yang sudah disediakan," perintah sang raja. "Prajurit! Antar mereka satu per satu ke ruang sayembara," perintah raja kepada prajurit di sana. Salah seorang prajurit mengangguk. Sila maju pertama kali. Dengan penuh keinginan menjadi orang nomor satu ia mengikuti langkah kaki sang prajurit memasuki satu ruang tertutup dan rahasia.

Raja masuk ke ruang itu seorang diri. "Kau sudah siap, Sila?" tanya sang raja.

"Hamba siap paduka," jawab Sila.

"Untuk memenangkan sayembara ini, kau cukup menjawab lima pertanyaan. Aku ingin tahu sampai sejauh mana kebijaksanaanmu dalam memimpin kerajaan ini kelak," ucap Raja Bodhi.

"Baik, paduka," jawab Sila.

"Pertanyaan pertama. Jika engkau menjadi raja, siapakah menurutmu musuh yang paling berbahaya bagi kerajaan?" tanya sang raja.

"Kerajaan tetangga yang penuh ambisi dengan jumlah pasukan terlatih yang sangat banyak, paduka," jawab Sila.

Sang raja mengernyitkan alisnya menandakan tidak puas atas jawaban Sila. "Pertanyaan kedua. Bagaimana cara engkau memimpin kerajaan ini kelak?" tanya Raja Bodhi.

"Hamba akan membangun kerajaan ini sekuat tenaga hamba. Hamba akan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi negeri ini," jawab Sila.

Raja kembali mengernyitkan alisnya. Ia masih tidak puas dengan jawaban Sila. "Pertanyaan ketiga. Bagaimana cara kamu melindungi kerajaan dari serangan musuh?"

"Hamba akan melatih para prajurit agar terampil dalam berperang dan menjaga setiap sudut kota," jawabnya.

"Hmmm...," raja bergumam. Wajahnya masih terlihat tidak puas. "Pertanyaan keempat. Apa yang engkau lakukan jika kerajaan diserang musuh?"

"Hamba akan perintahkan para prajurit untuk berjuang membela negara sampai titik darah penghabisan, paduka," jawab Sila.

Wajah raja nampak murung. "Aku tidak mungkin mengangkat orang seperti ini menjadi raja. Ia kelihatan pemuda yang baik dan penuh semangat, tapi belum bijaksana untuk memimpin kerajaan ini," pikir Raja Bodhi. "Pertanyaan kelima. Apa yang membuatmu paling bahagia jika engkau menjadi raja?"

"Menjadi raja itu sendiri merupakan kebahagiaan bagi hamba. Hamba bisa pergi pelesir keliling kota dengan kereta kuda, Hamba bisa tidur dengan nyaman di kasur yang empuk, dan hamba bisa makan yang enak-enak," jawabnya.

"Pemuda ini masih dipenuhi keegoisan dan keserakahan" pikir Raja Bodhi. "Kamu gagal, Sila! Kamu tidak pantas menggantikan aku!" ucap sang Raja. "Prajurit!"

"Hamba paduka," prajurit yang tadi mengantar Sila masuk sambil memberi hormat.

"Antar pemuda ini ke luar dan perintahkan pemuda yang satu lagi untuk masuk ke ruangan ini!" titah Raja Bodhi.

"Baik, paduka," prajurit mengantar Sila ke luar ruangan.

"Hamba menghadap paduka," ucap Panna sopan sambil memberi hormat kepada raja setelah memasuki ruangan.

"Sahabatmu telah gagal."

"Ampun paduka."

"Apakah engkau sudah siap?" tanya sang raja tak bersemangat. Ia berpikir, "pemuda yang tadi saja tidak mampu menjawab pertanyaannya dengan tepat, apalagi sahabatnya ini. Mereka satu perguruan, pasti ilmunya sama saja." Raja mengajukan pertanyaan pertama.

"Musuh yang paling berbahaya adalah orang-orang di dalam lingkungan kerajaan ini sendiri, paduka," jawab Panna tegas.

Raja terhenyak! Ia tak menyangka Panna dapat menjawab pertanyaan pertamanya dengan tepat! Ia nampak lebih bersemangat mengajukan pertanyaan kedua.

"Hamba akan memimpin kerajaan ini dengan penuh semangat, cinta kasih, kasih sayang dan kesabaran, paduka," jawab Panna pasti.

Raja tersenyum lebar. Wajahnya nampak berseri-seri dan matanya berbinar-binar. Ia mengajukan pertanyaan ketiga!

"Hamba akan menutup kelima pintu gerbang kerajaan dan hanya membiarkan gerbang utama kerajaan terbuka dengan penuh kewaspadaan dan penjagaan ketat, paduka," ucapnya tegas dan pasti tanpa ragu-ragu.

Raja semakin bersemangat mendengar jawaban Panna dan mengajukan pertanyaan keempat!

"Jika kerajaan diserang musuh, dengan penuh kewaspadaan hamba akan mencari titik lemah musuh dan menyerang titik lemah tersebut, sehingga tenaga dan prajurit kita tidak terkuras," jawabnya.

"Hebat! Hebat!" Raja bertepuk tangan. "Engkau luar biasa! Engkau menjawab empat pertanyaan yang kuajukan dengan tepat sekali! Gurumu pasti orang yang hebat! Apa yang diajarkan gurumu?" tanya Raja Bodhi.

"Guru hamba mengajarkan ilmu filsafat, kemoralan, ilmu dan taktik perang mengenali dan menghadapi musuh yang licik dan menyamar sebagai teman dalam selimut sekali pun. Guru hamba sangat trampil memegang senjata apa pun dalam latihan perang. Murid beliau sangat banyak dan tidak sedikit yang telah berhasil menjadi pemimpin," jawab Panna.

"Siapa nama gurumu?" tanya Raja Bodhi.
"Guru hamba bernama Samadhi, paduka," jawabnya.

Raja kembali terhenyak! "Samadhi? Apakah ayah dari gurumu bernama Bhavana?" tanya raja Bodhi.

"Benar paduka," jawab Panna penuh keheranan karena raja seperti mengenal baik gurunya.

"Luar biasa sekali anak guruku itu. Ia telah mewarisi seluruh ilmu ayahnya," gumam Raja Bodhi.

Panna kaget! Ternyata Raja Bodhi adalah murid dari ayah gurunya. Berarti mereka satu perguruan.

"Sekarang pertanyaan kelima. Pertanyaan ini yang menentukan kau bisa menggantikan aku atau tidak. Dan aku ingin tahu apakah engkau telah berhasil mewarisi ilmu gurumu." Raja Bodhi mengajukan pertanyaan terakhir.

"Hal yang paling membahagiakan hamba jika menjadi raja adalah apabila rakyat hamba hidup dalam kemakmuran dan kedamaian walau hamba harus mengorbankan kepentingan bahkan nyawa hamba sekalipun," jawab Panna tanpa ragu sedikit pun.

"Engkau berhasil Panna! Engkaulah pemenang sayembara ini! Engkaulah yang pantas menduduki tahta kerajaan ini menggantikan aku! Besok aku akan mempersiapkan segalanya untuk menobatkan engkau menjadi raja! Pimpinlah kerajaan ini dengan kebijaksanaanmu!" ucap Raja Bodhi penuh kebahagiaan.

"Hamba paduka," ucap Panna tenang tanpa ambisi dan gejolak emosi yang berlebihan.

Keesokan harinya Panna dinobatkan menjadi raja. beberapa hari kemudian Raja Bodhi mangkat. Raja Panna memimpin kerajaan dengan arif dan bijaksana. Karena kelembutan kasih sayang dan kesabaran Raja Panna, keempat putra Raja Bodhi akhirnya sadar dan bekerja untuk kerajaan. Kerajaan mengalami kemajuan yang sangat pesat dan rakyat di sana hidup dalam kemakmuran dan kedamaian.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar