Jumat, 23 Maret 2012

PULANG

Kulihat lembayung merona di ufuk Barat kala mobil yang mengantarku tiba di sebuah jalan kecil dengan aspal seadanya itu. Sejenak aku berdiri menatap sekelingnya. Dulu, jalan ini hanya tanah merah yang sangat becek jika hujan dan berdebu jika panas. Jika aku ingin menuju rumahku, aku harus berjalan kaki sejauh paling tidak satu kilometer. sekarang kulihat beberapa tukang ojek nampak berjejer di sana. Entah mengapa budeku, kakak ibuku menyuruhku pulang setelah sepuluh tahun berlalu. Tak biasa ia menyuruhku pulang seperti ini.



Kuputuskan untuk berjalan kaki menuju rumah ibuku. Aku ingin menikmati suasana desaku yang sudah lama kutinggalkan. Kulangkahkan kaki perlahan menyusuri jalan kecil beraspal yang di sana sini sudah nampak rusak. Hari mulai gelap. Kulihat di sepanjang jalan rumah-rumah penduduk sudah semakin banyak. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Dan ternyata listrik sudah masuk ke desaku. Sebagian besar rumah-rumah di sini sudah mulai menggunakan listrik. Dulu rumahku masih memakai lampu sintir (lampu dari bekas kaleng susu yang diberi sumbu dan diisi minyak tanah).

Ketika tiba di sebuah persimpangan, kubelokkan langkahku ke arah kiri dan terus kuayunkan langkahku. "Apakah orang-orang di desa ini masih ingat aku? Apakah aku masih ingat dengan orang-orang di desa ini? Apakah aku rindu akan desa kelahiranku yang dulu begitu makmur?" Beribu pertanyaan berkecamuk di pikiranku. Tak terbersit sedikit pun aku bisa kembali ke desa ini lagi.

Semakin aku melangkah menuju rumahku, rumah-rumah penduduk semakin jarang. Dari kejauhan samar-samar kulihat di depanku ada sebuah jembatan. Dengan rasa ingin tahu kudekati jembatan kecil yang cukup kokoh berdiri tegak di atas sebuah sungai kecil dengan lebar sekitar tiga meter itu. "Hmm..., ternyata sungai ini sudah ada jembatannya," gumamku dalam hati. Dalam samar kutatap air sungai yang mengalir. "Tak sederas dulu. Tapi airnya masih jernih," gumamku lagi. Sewaktuku kecil, di musim hujan air sungai ini seringkali meluap dan aku tak dapat berangkat ke sekolah. Beruntung sekarang sudah ada jembatan, hingga kegiatan penduduk desa seberang sungai tak terhambat jika musim penghujan tiba.

Sebelum pulang ke rumah ibuku, Bude lastri meminta singgahku ke rumah Bule Ida.  Rumahnya sebelum jembatan ini. Kubalikkan tubuhku ke arah samping jembatan menuju rumah Bule Ida. Rumah bibiku nampak lebih bagus, sudah dipasangi listrik dan sepertinya baru saja dicat. Sudah lama aku tak bertemu dengan le Ida. Terakhir bertemu, sewaktu aku masih di Semarang. Waktu itu aku masih SMP, tapi aku lupa persisnya kapan le Ida pernah datang tempat Bude Lastri. Kuketuk pintu rumahnya. Tak lama pintu dibuka.

"Siapa ya?" tanya buleku, sambil membuka pintu.

"Mul, bule," jawabku, kemudian pintu terbuka.

"Muul...?! ucap bule Ida setengah terpekik saat melihatku dan langsung memelukku. "Waaah... wah! Kamu sudah besar sekarang. Gagah dan ganteng, lagi," ucap le Ida sambil terkekeh. "Masuk, Mul," ucap bule Ida sembari membuka pintunya lebar-lebar.

"Trima kasih, le," ujarku.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya setelah kami duduk di ruang tamu yang mungil, sederhana namun nampak asri itu.

"Baik, le," jawabku singkat.

"Kamu sudah makan belum?' tanya le Ida.

"Sudah le, tadi waktu sampai terminal," jawabku

"Besok kalau kamu mau makan, mampir ke sini saja ya?" ucap le Ida

"Tidak usah repot-repot, le," jawabku.

"Walaaah..., tidak repot, kok. Kamu kan keponakanku, berarti anakku juga," ucap le Ida."Bagaimana dengan kuliahmu, Mul?" tanyanya lagi.

"Aku baru saja selesai ujian skripsi kemarin, le. Aku langsung diminta pulang oleh Bude Lastri. Ada apa le. Mengapa Bude Lastri memintaku cepat pulang?" tanyaku.

" Bagus! Berarti kuliahmu sudah selesai. Bule bangga padamu. Kamu sarjana pertama dari desa kita ini lho, Mul. Belum ada anak desa kita yang sekolah sampai perguruan tinggi. Anak bule saja hanya sampai SMU," ujar le Ida berbinar-binar.

"Lalu, mengapa aku diminta pulang oleh de Lastri, le?" ulangku, tanpa menghiraukan celotehannya.

Wajah le Ida yang mulai keriput di makan usia seketika menjadi nampak sedih. "Ibumu, Mul." ucapnya pelan.

"Ada apa dengan ibu?" tanyaku heran.

Sejak lulus SD, aku tak pernah lagi bertemu ibuku. Bahkan sejak kecil aku jarang bertemu dengan ibuku. Sejak bayi saja aku dirawat oleh nenekku yang telah meninggal sewaktu aku lulus SD. Lantas aku diajak bude Lastri pindah ke Semarang. Aku tinggal di Semarang hingga lulus SMU. Walau budeku tidak sanggup membiayai kuliahku, aku tetap bertekad untuk kuliah. Aku mencoba tes masuk di sebuah IKIP negeri jurusan matematika di sana. Beruntung aku diterima, dan biaya yang kukeluarkan tidak sebesar jika aku kuliah pada perguruan tinggi swasta.. Bekerja sebagai guru les pelajaran bagi anak-anak SD sambil kuliah kulakoni dengan penuh semangat. Menjadi guru adalah cita-citaku sejak kecil. Cita-cita yang sederhana memang. Sejak kepindahannku, aku tidak pernah bertemu dengan ibuku. Ibuku tidak pernah peduli denganku sejak kematian ayahku. Ia tak pernah memperhatikan aku. Aku sudah terbiasa hidup tanpa ayah dan ibu.

"Ibumu sudah meninggal," ucap buleku.

"Apa?" tanyaku kaget. "Meninggal? Apa penyebabnya, le? Kapan meninggalnya le?" tanyaku beruntun.

" Sudah seminggu yang lalu. Ibumu terpeleset di sumur waktu akan mandi. Tak lama kemudian langsung meninggal," jawab Le Ida.

"Mengapa baru sekarang aku diberi tahu, le?"

"Menurut Mbak Lastri kamu sedang ujian. Mungkin takut ujianmu jadi terganggu," jawab le Ida.

"Hhhhhh...." Aku menghela nafas panjang. Bahkan ketika ibuku meninggal, aku tak melihat wajahnya. Aku terbiasa hidup keras! Aku bukan orang yang cengeng! Saat ini pun aku tidak merasakan kehilangan sama sekali. Ibu? Aku tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu apalagi ayah. Nenek dan budekulah yang merawatku. Merekalah orang tuaku.

"Kamu menginap di sini saja ya, Mul? pinta Le Ida memotong pikiranku yang berkecamuk.

"Tidak usah, le. Biar aku pulang ke rumah ibuku," ucapku lesu.

"Rumahmu kosong dan gelap, Mul," ucap le ida.

"Tidak apa-apa, le,"

"Kalau begitu kamu bawa senter dan lampu dari sini saja. Sebentar bule ambilkan," ucap le ida seraya bangkit dari duduknya beranjak masuk ke dalam.

Kusapu pandanganku ke seluruh ruangan tamu itu. Pandanganku tertumbuk pada foto-foto yang ada di sana. Aku berdiri dan berjalan menghampiri foto-foto itu. Anak-anak le Ida sudah besar-besar. "Cantik!" gumamku. Anak le Ida ada dua orang yang kesemuanya perempuan.

"Mul, ini senter, lampu, kunci rumah dan korek apinya," ucap le Ida seraya meletakkan barang-barang tersebut di atas meja tamu.

"Trima kasih, le. Anak-anak Le Ida pada ke mana?" tanyaku.

"Mereka sudah bekerja di kota, Mul. mereka kost di sana. Pulang kalau hari Sabtu saja," jawab Le Ida. Jarak desaku dengan kota tidak terlalu jauh, sekitar 1 jam jika ditempuh dengan kendaraan bermotor.

"Lalu le Karto ke mana?" menanyakan suami Le Ida.

"Sedang ke rumah pak RT. Ada rapat RT di sana," jawab Le Ida.

"Baiklah le, aku pamit dulu," ucapku.

"Ya, Mul, hati-hati" ucap Le Ida sembari menepuk-nepuk pundakku.

Langkah kakiku terhenti di depan sebuah rumah dengan atap genting seadanya dan dinding dari anyaman bambu yang nampak sudah reot. Kunyalakan lampu sintir pemberian buleku saat kutiba di dalam rumah ibuku. Dalam samar kutatap seisi rumah ibuku. Semua perabotannya nampak sudah usang. Lantainya masih tanah. tak ada barang mewah dalam rumah yang bisa dibilang gubuk ini. "Kasihan sekali ibuku? Bagaimana kehidupan dia? Sendiri tanpa teman dengan kondisi minim seperti ini?"Muncul rasa iba dalam pikirannku. Namun pikiranku kosong. Tak ada kenangan bersama ibuku di sana.

Kehidupanku tak jauh berbeda walau aku hidup dengan budeku. Setiap hari aku harus membantu budeku yang berjualan di pasar. Setiap pagi jam 3 aku harus bangun dan mempersiapkan barang dagangannya sebelum aku berangkat sekolah. sepulang sekolah aku harus membantu menyusun barang dagangan budeku setelah ia selesai berjualan. Kekerasan hidup sudah biasa kualami. Di saat-saat aku mulai kuliah, aku bisa sedikit relaks karena pekerjaanku tidak menguras banyak tenaga. Namun aku tetap harus hidup hemat. Terkadang aku hanya makan sekali sehari demi biaya keperluan kuliahku. Baru saja aku bernafas lega karena kuliahku sudah selesai, aku harus pulang ke kampung halamanku.

"Bagaimana ini?" tanyaku dalam hati. Aku belum mandi. gerah rasanya tubuhku ini.seingatku di belakang rumah ini ada sumur. Tapi di sini gelap sekali. Rumah ibuku berada diujung jalan. tetangga terdekat saja jaraknya sekitar 200 meter. Aku jarang sekali ke rumah ini, bahkan aku tidak pernah mau menginap di sini. Kulangkahkan kakiku menuju kamar. Kuletakkan ranselku di atas dipan bambu. Kubaringkan tubuhku di atas dipan itu. Karena kelelahan melakukan perjalanan Yogyakarta - Bandar Lampung menggunakan bis selama lebih dari 20 jam, akhirnya aku tertidur.

***

Kokok ayam jantan bersahutan menyambut pagi dan membangunkanlelap tidurku. Aku berjalan ke luar rumah, Udara masih terasa sejuk sekali di sini. Kutatap sekeliling rumah ibuku yang berada di lembah Pegunungan Bukit Barisan. Tepat di samping rumah hamparan sawah hijau yang membentang. Aku berlarian di pematang sawah sambil berteriak-teriak bersama Sri sahabat kecilku sambil membawa alat untuk memancing belut yang terbuat dari anyaman tali rafia kira-kira sepanjang 30 cm dan diberi mata kail. Kami menyusuri sawah mencari lubang belut dan memasukan alat pancing.

"Maaas...! Aku dapat satu!" teriak Sri kegirangan sambil mengangkat belut hasil pancingannya yang meronta-ronta.

"Huuuh! Sri sudah dapat satu. Aku sudah sekian lama, belum juga menemukan lubang belut itu", gumamku. Aku terus mencari. Aha! Akhirnya lubang itu kudapatkan juga. Aku memasukkan tali yang bermata kail dengan umpan cacing itu ke dalam lubang. Tak lama. kailku seperti ditarik. Aku cabut! "Woooow! Akhirnya kudapatkan kau!" teriakku tak kalah girang dari Sri.

"Mas Muyonoooo!"

Sebuah teriakan membuyarkan lamunanku. Sawah hijau membentang itu pun musnah dari pikiranku dan kini berganti dengan lahan sawah yang dibiarkan ditumbuhi rumput liar. "Ke mana larinya sawah tempatku bermain dulu?" batinku.

Aku menoleh ke arah suara teriakan itu. Kulihat dari kejauhan seorang gadis berlarian kecil ke arah rumah ibuku. Aku mengernyitkan alisku. Aku memperhatikannya. Aku melambaikan tangan. Wooooi! Aku di sini!" teriakku agar ia tahu aku keberadaanku. Aku memperhatikan gadis itu. "Siapa dia? Dia pasti mengenal baik diriku. Dia tahu nama lengkapku. Hanya beberapa orang saja di desa ini yang tahu nama lengkapku. Sebagian besar hanya tahu nama panggilanku 'Mul'.  Mengapa sepagi ini dia sudah ke sini?Mengapa dia tahu aku pulang?" Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan dan praduga.

"Maaas...!" teriaknya lagi ketika tiba beberapa meter dari rumah ibuku.

Semakin dekat semakin jelas aku melihat wajahnya. Aku terkesima! "Sri!" teriakku dalam hati. Sri Lestari! Tapi aku lebih suka memanggilnya Sri, walau ia lebih terkenal dengan panggilan Tari. Sahabat kecilku yang baru saja muncul dalam anganku! Yang selalu muncul dalam anganku. Walau sudah sepuluh tahun tak bertemu, aku masih selalu mengingatnya!

"Maaas...." panggilnya di sela nafasnya yang tersengal-sengal. Ia membungkukkan badannya memegang kedua lututnya sambil mengatur nafasnya.

"Sri?" gemamku setengah bertanya. Aku terpaku! Hanya tatapan mataku yang memperhatikan dirinya. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang! Walau wajah dan tubuhnya penuh keringat, Ia terlihat cantik dengan rambutnya yang hitam, lurus terurai hingga ke punggung. Walau sudah sepuluh tahun raut wajahnya tak banyak berubah. Masih seperti dulu, hanya nampak lebih dewasa. Wajahnya yang kuning langsat itu bersih tanpa jerawat. Matanya lebar dengan bola mata hitam nampak bening dan berkilat. Bibirnya tipis kemerahan dengan hidung sedikit mancung, Perpaduan yang serasi dengan wajahnya.

"Maaaas...," panggilnya lagi seraya menegakkan tubuhnya. Ia selalu memanggilku 'mas' walau usiaku dengannya hanya terpaut 1 tahun.  Katanya aku selalu bersikap lebih dewasa dari umurku.

"Sri.... Kau... kau...." ucapanku tercekat. Degup jantungku semakin kencang.

"Aku mencarimu, mas Aku tahu kau pulang dari Le Ida. Aku langsung ke sini," ucapnya seolah tahu apa yang ingin kukatakan, "Kau ke mana saja? Tidak pernah ada berita sedikit pun. Kau tega mas. Kau berjanji akan pulang. Bertahun-tahun aku menunggumu kepulangannmu," ucapnya seraya memperbaiki letak rambutnya. Matanya berkaca-kaca.

Aku menundukkan kepalaku. Aku terdiam, berusahan menenangkan degup jantungku.

"Jangan tinggalkan aku, mas! Jangan tinggalkan aku!" Sambil menangis Sri berteriak-teriak histeris dalam pelukanku saat mengantar kepergianku dengan keluarga Bude Lastri waktu itu. Ia tak rela melepas kepergianku.

"Aku harus pergi, Sri. Suatu saat aku akan pulang," ucapku pelan menahan isak. Kulepaskan pelukannya perlahan. Iya terduduk lemas di tanah depan halaman rumah nenekku yang kini sudah ditempati Bule Ida. Aku melangkah gontai meninggalkannya. Kubalikkan wajahku. Dia sahabat yang baik. Selalu peduli padaku. Selalu mengingatkan aku. Selalu membagi makanan yang ia miliki padaku. Yang menjagaku ketika aku sakit.

"Mas," panggilnya lagi.

Kutegakkan wajahku. Kutatap matanya yang masih berkaca-kaca menahan tangis. "Maafkan aku, Sri. Aku tidak pernah melupakanmu. Aku selalu ingat padamu. Sekarang aku sudah pulang, Sri," ucapku pelan.

"Kalau ibumu tidak meninggal, kamu tidak akan pulang, kan?" tanyanya dengan suara tergetar menahan tangis.

"Maaf, Sri. Jarak Yogya - Lampung itu tidak dekat. Biaya pulang pergi tidaklah murah. Aku harus bekerja dan meraih cita-citaku," ucapku berusaha membela diri.

"Kau tega, mas...." Dipukul-pukulnya dadaku. Tangisnya pecah! Kepalanya rebah di pundakku.

Kubiarkan ia menangis sepuasnya. Bibirku terasa kelu.
"Tari!" Tiba-tiba sebuah teriakan mengejutkan aku dan Sri. Kulihat seorang pemuda sudah berdiri di dekat kami tanpa kami sadari dan langsung menggenggam tangan Sri dan menariknya menjauh dariku.

"Lepas... kan!" teriak Sri sambil menghentakkan tangannya berusaha melepaskan genggamannya.

"Sedang apa kau di sini?" bentaknya.

"Apa urusanmu?" balas Sri suaranya tak kalah keras.

"Aku tak suka kau berduaan dengannya! Ayo pulang!" bentaknya lagi sambil menarik keras tangan Sri dan menyeretnya dengan kasar.

"Aku tidak mau!" teriak Sri.

Aku ternganga bingung dengan apa yang terjadi. Aku sama sekali tak mengenali pemuda yang tingginya hampir sama denganku sekitar 170 . Mungkin usianya juga tak terpaut jauh dariku.

"Maaaas!" teriak Sri sambil berjalan terseok-seok diseret pemuda itu dan melambaikan tangannya padaku. Tolong aku, mas! Tolong aku!" teriaknya memelas.

Aku tak tega melihatnya. Kudekati mereka. "Berhenti!" teriakku. Namun pemuda itu tetap saja menyeretnya.

Kuhadang langkah mereka. Pemuda itu menghentikan langkahnya. "Jangan coba-coba mengganggu tunanganku, kalau kau tak mau celaka!" ucapnya penuh ancaman.

"Aku tidak mau!" bentak Sri. "Itu kan keinginanmu dan orang tuamu. Aku tetap tidak mau!" bentaknya lagi sembari berusaha melepaskan genggaman tangan pemuda itu

"Mas, tolong aku! Aku tidak mau!" teriak Sri.

Aku berusaha melepaskan genggaman tangan pemuda itu. Tapi tiba-tiba sebuah tinju mentah mendarat di pipiku. Buuk! Aku terhuyung. "Lepaskan tidak?" bentakku seraya menguatkan diri dan kembali berdiri tegak. Aku tak mungkin membiarkan Sri diperlakukan seperti itu.

"Ayo, sini kalau kau berani!" tantangnya.

Aku hampiri dia, dan... Buuk! Sebuah tinju balasan dariku mendarat di pipi kirinya dan ia langsung terjerembab. Genggamannya pada Sri terlepas dan Sri berlari ke arahku langsung memelukku. "Mas, tolong aku. Aku tak mau menikah dengan orang kasar seperti itu," ucapnya memelas. Aku tak mengerti dengan apa yang terjadi. Sri seperti ketakutan.
"Tari! Lepaskan dia!" bentak pemuda itu mencoba bangkit.

Perlahan aku lepaskan pelukan Sri. Aku berdiri tegak di hadapan pemuda itu. Nampaknya ia belum puas. untung aku suka olah raga bela diri. Badan pemuda itu cukup kekar dan nampak kuat. Tingginya hampir sama denganku sekitar 170 cm. Dengan beringas ia kembali kepalan tangan kanannya menghujamkan tinjunya ke arah wajahku. Namun aku tangkis! Dilanjutkan kepalan tinju tangan kirinya. Namun ketangkap tangan kirinya dan kupelintir ke belakang tubuhnya.

"Lepaskan aku!" teriaknya.

"Jangan coba-coba menyakiti Sri, jika kau tak ingin babak belur olehku," ucapku balik mengancam, sebelum tangannya kulepaskan.

Ia berlari sambil berteriak, "Awas kamu!"

"Mas..., kamu tidak apa2?" tanya Sri sambil mengusap pipiku.

Aku risih diperlakukan seperti itu. "Aku tidak apa-apa, Sri," ucapku seraya menurunkan tangannya dari pipiku. "Siapa dia? Apa dia orang desa sini?" tanyaku.

"Dia Marwan. Dia anak baru di sini, baru sekitar 5 tahun," ucap Sri.

"Pantas, aku tidak mengenalinya," ucapku. Aku mengajak Sri masuk ke dalam rumah ibuku. Kami duduk berhadapan di ruang tamu yang perabotannya sudah tidak layak pakai lagi.

Kami terdiam sesaat.

Jantungku kembali berdegup kencang saat menatap wajahnya. Sudah Sepuluh tahun aku tak bertemu dengannya. Ia sekarang makin cantik.

"Mas," panggilnya.

"Ya, Sri," sahutku

"Kamu beda sekarang," ucapnya.

"Beda apanya?"

"Kamu hebat! Nampak gagah dan berwibawa," ucap Sri tersipu.

"Masak? Perasaan aku biasa-biasa saja," ucapku merendah. Tak sedikit orang yang memujiku seperti itu, bahkan di kampus sebenarnya ada beberapa wanita yang mendekati aku, tapi tak pernah kutanggapi.

"Aaah! memang iya, kok," ucapnya seraya menyibakkan rambutnya. Harum semerbak rambutnya sampai tercium olehku. "Marwan saja kalah olehmu. Padahal pemuda sini tak ada yang berani menantangnya," ucap Sri.

"Masak?"

"Iyaaa... mas. Tapi yang kutakutkan dia akan menyerangmu lagi. Dia pasti tidak puas," ucap Sri cemas.

"Sudahlah tidak usah cemas. Aku tidak takut menghadapi apapun selagi aku benar," ucapku berusaha menenangkan dirinya. "Bagaimana kabarmu, Sri?" ucapku mengalihkan pembicaraan.

"Seperti yang kau lihat. Kabarku kurang baik, mas. Aku ke sini sengaja ingin bertemu denganmu," jawabnya nampak murung.

"Kurang baik bagaimana?" tanyaku lagi.

"Aku dijodohkan dengan Marwan. Aku tidak mau, tapi orang tuaku terpaksa. mereka diancam oleh orang tua Marwan, jika aku tidak mau menikah dengan Marwan. Ketika tahu kau pulang, aku senang sekali. Kau pasti akan melindungiku dari ancaman Marwan" tuturnya.

"Kamu diancam? Diancam bagaimana?" tanyaku dengan rasa ingin tahu. "Memang mereka itu siapa?" tanyaku lebih lanjut.

"Mereka orang terkaya di desa kita ini, mas. Para petani di sini meminjam modal pada mereka, termasuk orang tuaku. Mereka akan menarik semua modal yang dipinjamkan pada orang tuaku dan keluargaku akan dibuat menderita oleh mereka jika aku tidak mau menikah dengan Marwan." ucap Sri.

"Mengapa keluargamu tidak berani menolaknya kalau memang kamu tidak menginginkannya?" tanyaku.

"Keluargaku mana berani. mas. Ayahku sudah semakin tua. Pak Bambang, ayah Marwan adalah orang yang kejam. Iya tak segan-segan menyakiti orang. Penduduk sini tak ada yang berani menghadapinya," ujar Sri.

"Lalu kapan kamu akan menikah?" tanyaku sedikit putus asa. Tiba-tiba aku merasa tak rela membiarkannya menikah dengan orang lain. "Apakah aku telah jatuh cinta padanya?" tanyaku dalam hati.

"Bulan depan," jawab Sri. "Tolong aku, mas. Aku tidak mau menikah dengannya," lanjutnya.

"Bagaimana cara aku menolongmu, Sri?" tanyaku

"Aku tak tahu. Yang pasti aku tak ingin menikah dengannya. Belum jadi suamiku saja ia sudah berani memukul aku, apalagi jika menjadi suamiku? Pokoknya aku tidak mau!" ucap Sri dengan mata berkaca-kaca.

"Aku akan membantumu," ucapku iba. Sejak dulu aku selalu membela Sri jika ada yang mengganggunya.

"Kamu memang sahabat terbaik yang pernah aku temui, mas," ucapnya sedikit tenang.

Setelah mengobrol cukup lama, aku mengantarnya pulang ke rumahnya. Kami berjalan berdampingan sambil terus bercerita satu sama lain. Ternyata Sri masih kuliah. Ia juga mengambil Fakultas Keguruan, namun jurusan Bahasa Indonesia. Kami memang sejak kecil sama-sama bercita-cita menjadi guru. Sewaktu sekolah dulu Sri dan aku termasuk anak yang cukup pandai. Kami selalu bersaing dalam meraih peringkat walau kelas kami berbeda. Kalau ada nilai yang turun, kami selalu saling memberi semangat.

"Berhenti!" sebuah teriakan menghentikan langkah kami ketika kami baru saja sampai di tikungan jalan. Kami dihadang oleh lima orang pemuda.

"Marwan!" gumamku. Kulihat empat pemuda yang lain wajahnya nampak garang. Aku sama sekali tak mengenalinya.

"Hajar laki-laki itu!" perintah Marwan terhadap empat pemuda yang bersamanya sambil menunjuk ke arahku.

"Hati-hati, mas," bisik Sri. "Marwan tak akan menyerah begitu saja sebelum membuat lawannya tak berkutik walau dengan cara apapun. Ia orang yang licik dan kejam," lanjutnya mengingatkanku.

Aku memasang kuda-kuda menunggu serangan. Kupejamkan mataku sejenak dan berkonsentrasi ke arah atas pusarku dan mengatur pernafasanku untuk mengerahkan tenaga dalamku ke arah tubuhku agar dapat bertahan ketika diserang. Untung saja aku pernah belajar ilmu bela diri dan tenaga dalam. Ketika kubuka mataku, mereka nampak berusaha menendang, meninju aku. Bahkan yang seorang membawa semacam pentungan dan berusaha memukul kepalaku. Namun belum sampai menyentuh tubuhku, kelima orang itu terpental semua sejauh kira-kira 2 meter. Mereka mencoba menyerangku berkali-kali, tapi lagi-lagi mereka terpental. Akhirnya mereka kelelahan sendiri dan kabur meninggalkan Marwan. Setelah memandangku sejenak, Marwan pun melarikan diri dengan wajah ketakutan.

Banyak orang yang melihat kejadian itu. Mereka mengelu-elukan aku. Mungkin mereka tidak mengenali aku. Mereka berbisik-bisik pada Sri. Mungkin ingin mengetahui jati diriku. Sejenak mereka beramai-ramai menghampiriku dan menyalami aku satu per satu.

"Waah... kamu Mul, toh. Anak Bu Maryam? Kamu hebat!" ucap seorang bapak sambil menyalami aku.

"Mul... mul. Aku pangling. Kamu gagah sekali," ucap bapak yang lain.

"Mul? Kamu ganteng sekali," ucap seorang ibu sambil mengelus-elus pundakku. "Dulu kamu tuh kurus dan kecil, sekarang sudah sebesar ini! Gagah lagi," lanjutnya.

Aku dikerumuni sekitar 20 orang. Aku salami semua, ternyata mereka masih mengenali aku. Dalam sekejap aku anak bu Maryam jadi terkenal di desaku sebagai orang pertama yang berani melawan Marwan.

"Orang itu memang pantas dihajar!" teriak seorang bapak.

"Betuuuul!" teriak yang lain.

"Habisi saja!" teriak seorang bapak yang sudah agak tua namun masih nampak gagah.

"Iya! Kita harus berani menghadapi mereka!" teriak seorang pemuda yang baru saja datang. "Hai, Mul. Apakah kamu masih mengenali aku?" tanyanya.

Aku terdiam sejenak. Aku ingat! "Agus? Agus Cemong?" tanyaku memastikan. Ia dipanggil Agus Cemong karena wajahnya sering kali hitam-hitam bekas usapan tangannya ke hidungnya karena masih ingusan.

"Hahaha...!" tawanya berderai. "Ingatanmu tajam teman," ucapnya sambil menjabat tanganku. "Apa kabar, Mul?" tanyanya.

"Baik, Gus," jawabku sambil melepaskan jabatan tangan kami.

"Mas...," panggil Sri.

"Wah... wah...! Ketemu pacar lama, nih?" ucap Agus meledek. Dulu ia yang paling sering mengolok-olok kami. "CLBK, nih?" ucapnya setengah bertanya.

"Apa itu CLBK?" tanyaku yang memang tidak tahu sambil mengernyitkan alis.

"Cinta Lama Bersemi Kembali. Hahaha...," ucapnya disertai derai tawanya.

"Ooh...," Kutatap wajah Sri yang bersemu merah. Tiba-tiba jantungku kembali berdegup kencang.

"Ayo, sini," Ia menarik tangan Sri dan tanganku lalu menyatukan tangan kami di dalam genggaman tangannya. "Dari pada dengan Marwan, mending dengan Mulyono, Sri," ucapnya sambil menatap Sri. "Mul, jangan biarkan Sri sampai menikah dengan si Marwan," ucap Agus padaku. "Kalau saja dia tidak menolak cintaku, pasti sudah kupacari dia. Dia ingat kamu terus, tuh," ucap Agus kembali memandangku.

Aku terdiam sambil menenangkan degup jantungku yang tak dapat kuajak kompromi. "Apakah yang dikatakan Agus benar ?"

***

Malam semakin larut, namun aku belum juga dapat memejamkan mata. Tubuhku hanya bolak-balik di atas dipan. Seminggu sudah aku di desa. Rasanya aku enggan kembali ke Yogyakarta. Sejak kejadian itu aku semakin menyayangi Sri dan tak ingin berpisah darinya. Tapi sampai saat ini aku belum berani menyatakan cintaku, walau kami semakin akrab.  "Bagaimana caraku menyatakan cintaku padanya sebelum aku kembali ke Yogyakarta?" Pikiranku berkecamuk memikirkan cara menyatakan cintaku padanya. Hingga ayam jantan berkokok, aku tetap tak dapat memejamkan mataku. Aha! Aku ingat! Hari ini adalah ulang tahun Sri! Aku akan membuat kejutan padanya. Akhirnya aku dapat ide.

Aku bergegas mandi dan pergi ke kota untuk membeli sesuatu sebagai hadiah ulang tahunnya. Aku tahu apa yang paling ia sukai.

Sepulang dari kota aku langsung menuju rumah Sri. Kuketuk pintu rumahnya. "Sri!" panggilku

Pintu terbuka. "Mas? Hayo dari mana?" tanyannya. "Biasanya pagi-pagi sudah main ke sini," ucapnya. Selama aku di desa aku memang tiap hari pagi-pagi sudah main ke rumahnya. Mumpung aku di sini dan kuliahnya sedang libur. "Masuk, mas," kami beriringan memasuki ruang tamu rumahnya.

Kusodorkan hadiah yang tadi kubeli yang sudah dibungkus kertas kado. "Nih, Sri kado dariku."

"Kado?"

"Iya. Kamu kan ulang tahun hari ini?"

"Mas? Kau masih ingat?" tanyanya

"Masih, dong," jawabku. "Ayo, ambil. Kamu pasti suka," ucapku. Ia mengambil kado yang kusodorkan. "Selamat ulang tahun, Sri," ucapku sedikit bergetar.

"Trima kasih, mas. Apa ini mas?" tanyanya setelah kado itu berpindah ke tangannya.

"Bukalah," ucapku.

Ia terpekik ketika bungkus kado itu sudah terbuka! "Novel! Woooow...! Mas, kau tahu saja apa yang paling kusuka! Wah... pengarang kesukaanku, lagi. Makasih ya, mas?"

Aku hanya mengangguk-angguk kepala. Jantungku berdetak menatapnya sambil menunggu reaksinya jika membuka novel itu. Karena di dalamnya ada tulisan tanganku.

Buat orang yang paling aku sayangi Sri Lestari

Kuucapkan selamat ulang tahun yang ke 21

Hari-hari selama aku di sini adalah hari-hari terindah dalam hidupku. Bersamamu adalah kebahagiaan dalam hidupku. Enggan rasanya aku tinggalkan desa ini. Kau telah membuatku jatuh cinta. Kau wanita pertama dalam hatiku dan akan menjadi yang terakhir dalam hidupku,

                                                                             dari orang yang selalu mencintai dan menyayangimu

                                                                                                               Mulyono


"Mas?" Suaranya terdengar bergetar.

Aku berdiri di hadapannya. Kuletakkan tanganku di kedua bahunya. "Aku mencintaimu. Apakah kau mau menjadi isteriku kelak?" ucapku bergetar.

Ia mengangguk lalu menundukkan kepalanya.

Kuberanikan diri memegang dagunya dan menatap matanya. Kudekatkan wajahku dan kukecup keningnya. "Selamat ulang tahun, sayang," ucapku.

Ia memelukku erat. "Trima kasih, mas. Aku mau menjadi isterimu. Aku juga mencintaimu. Aku selalu mencintaimu," ucapnya


Aku balas memeluknya erat sekali seolah tak ingin melepaskannya. Rasa sayangku padanya tak pernah berubah. Dialah yang mengajari aku bagaimana caranya menyayangi seseorang. Walau sepuluh tahun telah berlalu, aku tak pernah melupakannya. kenangan masa kecil yang penuh kehangatan bersamanya selalu muncul dalam ingatanku. Saat pulang sekolah hujan-hujanan sambil bersepeda, tapi kami malah senang dan bernyanyi-nyanyi. Saat ban sepedaku bocor dan kami berjalan kaki pergi dan pulang sekolah yang sejauh 3 km sambil menuntun sepeda. Saat berlarian di sawahnya atau sawah milik nenekku sambil mengangkap capung dan mengusir burung-burung emprit. Saat ia berlarian ke rumah nenekku menghampiri aku sambil menangis, karena dimarahi ibunya. Saat mencari aku tatkala ia tidak bisa mengerjakan PR. Semua kuingat!  gadis kecil yang lembut manja dan sering merajuk padaku jika keinginannya tidak kukabulkan. kini ia telah menjadi kekasihku!

***

"Ayaaaah...!"

Teriakan itu membuyarkan lamunanku. Kulihat di kejauhan dua bidadari kecilku berlarian di pematang sawah menghampiriku yang sedang duduk beristirahat dii dangau di tengah sebidang sawah milik nenekku yang diwariskan pada ibuku, lalu di wariskan kembali padaku. Aku lebih senang menjadi guru dan petani seperti ini. Damai dan sejuk rasanya melihat hamparan padi menguning seperti saat ini. Inilah kenangan masa kecilku. Sawah yang dulu terbengkalai, kini bulir-bulir padinya sudah merunduk melalui tangan-tanganku dan istriku. Indah sekali!

"Ayaaaah!" teriak kedua bidadari kecilku lagi.

Nafasnya tesengal-sengal setibanya di tempatku duduk. Hari sudah semakin siang. Panas matahari terasa menyengat. Tubuh  dua bidadari kecilku penuh dengan keringat. Aku tersenyum dan memandangi dua bidadari cantikku. Si sulung berumur enam tahun dan si bungsu tiga tahun. Mereka nampak lucu sekali. Kuusap keringatnya dengan handuk kecil yang tergantung di leherku. "Bunda mana, sayang?" tanyaku. Jam segini adalah saat istriku mengantar makanan. Hari ini aku tidak ada jadwal mengajar. Aku mengajar di sebuah SMUN dan Sri di SMPN yang tak jauh dari desaku. Jika tak ada jadwal mengajar seperti ini, aku lebih senang pergi ke sawah. Apalagi saat-saat bulir-bulir padi mulai menguning. Aku harus menjaganya dari serangan burung-burung pemakan padi.

"Bunda mana, sayang?" tanyaku lagi.

"Ketinggalan, yah. Tuh, masih di sana," ucap si sulung setelah mengatur nafasnya yang tadi tersengal-sengal. dan menunjuk ke arah mereka berlari tadi. .

"Mbak tadi lali. Jadi aku ikut lali ngejar mbak, yah. Bunda jadi ketinggalan, deh," ucap si bungsu yang masih cedal tapi bawel sekali, tidak seperti aku yang pendiam. Ntah mengapa anakku yang satu ini bawel dan pintar bicara.

Kulihat di kejauhan Sri berjalan sedikit tergopoh-gopoh, sambil membawa rantang tempat makanan. Dia istri yang baik bagiku. Aku beruntung mendapatkan istri seperti dia. Dia telah memberiku dua orang anak perempuan yang cantik-cantik dan pintar-pintar seperti dirinya.

"Kalian nakal, ya? Masak... bunda ditinggal," ucap Sri setibanya di dangau tempat kami berada sambil meletakkkan tempat makanan di bale-bale dangau.

"Abis... bunda jalannya kayak kula-kula, sih," jawab si bungsu meledek sambil terkekeh-kekeh.

Aku hanya tertawa melihat ulah mereka. "Cape Sri?" Sambil mengusap keringat di wajah dan lehernya aku menatapnya lekat-lekat.

Ia salah tingkah. "Kenapa sih mas, kok menatap aku seperti itu?" tanyanya tersipu tanpa menghiraukan pertanyaanku. Sudah tujuh tahun kami menikah. Tapi Sri tetap saja tersipu dan pipinya merona jika aku menatapnya lekat-lekat. "Tatapanmu penuh cinta, mas," Sering kali ia mengucapkan itu.

Aku tersenyum. Kudekati dia dan kukecup keningnya seraya bertanya, "Apakah kamu bahagia, Sri?" tanyaku setengah berbisik di telinganya.

"A... aku bahagia, mas. Kau terlalu baik dan begitu penyayang terhadap aku dan anak-anak," jawabnya setengah berbisik pula.

"Kau juga istri dan ibu yang baik dan teramat penyayang bagiku dan anak-anak kita," ucapku masih setengah berbisik.

"Hayooo...! Ayah bunda pacaran!" teriak si sulung. "Ayaaah! Jangan dekat-dekat ibu," pintanya sambil memeluk ibunya diikuti si bungsu. Si bungsu selalu saja meniru tingkah kakaknya.


Aku mencubit lembut pipinya. "Bukan pacaran sayang. Ayah kan, sayang sama bunda," ucapku sambil terkekeh lalu memeluk mereka dan menciumi kedua bidadari kecilku yang lucu-lucu satu per satu. mereka meronta-ronta kegelian, tapi aku tetap saja menciumi mereka dengan gemas sampai aku puas.


Sri hanya tersenyum-senyum saja melihat tingkahku yang terbiasa seperti itu. Ia sudah tahu kalau mereka iri melihat keakraban kami pasti sasarannya anak-anaku yang aku ciumi.

Kami tertawa bersama. Makan bersama. Bercanda bersama. Nikmat sekali makan di dangau seperti ini ditemani hamparan padi yang sedang menguning. Inilah anugerah terindah dalam hidupku. Keluarga yang penuh kehangatan, yang tak pernah kudapat sewaktu aku kecil. "Aku selalu menyayangi kalian semua," ucapku dalam hati.

TAMAT

2 komentar: