Selasa, 06 Desember 2011

HADIAH TERAKHIR



Cindy membuka pintu. Aku mulai mengikutinya turun dari mobil, yg membawaku bersama teman karibku ini untuk singgah ke rumahnya. Huuufff! Udara siang ini terasa sangat menyengat.  Tidak sesejuk di dalam mobil yg ber AC ini. “Terima kasih banyak, Pak,” kataku kepada supir pribadi Cindy itu seraya menutup pintu mobil kembali.

“Sama-sama, de,” balas sang supir, lalu mengendarai mobilnya entah ke mana lagi. Mungkin ke tempat kerja ayah Cindy kembali.
Aku bersama Cindy yang tingginya hampir sama, lebih tinggi dia sedikit, berjalan beriringan memasuki pintu gerbang yang sudah dibukakan oleh pembantunya. Rumahnya cukup mewah untuk ukuranku, yang terbiasa tinggal di rumah kontrakan sempit yang berada dalam gang. Di depan ada garasi dan taman kecil yang cukup indah dan apik. Kami melewati ruang tamu yang tertata apik dengan hiasan dinding berupa lukisan yang kurasa cukup mahal. Di ruang tengah yang cukup luas, dengan semua perabotan yang serba modern itu, Tante Clara, ibunya Cindy sepertinya sudah menunggunya sejak dari tadi. Aku sudah sering main ke rumahnya ini, jadi aku sudah cukup akrab dengan Tante Clara yang cantik dan baik hati ini, sama seperti anaknya yang juga tak kalah cantik, baik hati dan periang. Tidak seperti aku yang kurasa wajahku biasa saja, pendiam malah cenderung pemurung. “Bagaimana, sayang? Kamu lulus?” tanya Tante Clara pada Cindy.
Cindy mengangguk-angguk. “Pasti dong, ma”, jawabnya. Ibunya langsung melebarkan tangan dan menerimanya dalam pelukannya mesra.
“Kamu mau hadiah apa, sayang?” Tanya ibunya.
Kata-kata itu membuat pikiranku melayang jauh.... Aku sudah tidak memperhatikan mereka, ibu dan anak yang masih bermesraan sambil bercengkrama.
“Hai, Jeje sayang,” sapa ibuku. Sore itu ia baru saja pulang setelah berjualan baju keliling selama 3 hari. Aku memang biasa ditinggalnya sampai berhari- hari dan dititipkan pada tetangga sebelah rumah kami Bu Tina yang baik hati. Ibuku lalu mengajak aku pulang, setelah berpamitan Bu Tina.
“Hari ini kamu kan, ulang tahun, sayang. Kamu mau hadiah apa?” Tanya ibuku sambil menggendong dan memelukku. Aku membalas pelukannya hangat. Aku kangen sekali 3 hari tidak bertemu dengannya. Nyaman rasanya berada dalam pelukan ibuku.
“Aku mau sepeda ma, boleh ga?” pintaku berhati-hati. Aku sangat kasian pada ibuku yang hanya bekerja sendiri untuk menghidupi kami berdua. Aku bahkan tidak berani meminta apa pun darinya kecuali memang ibu yang memberikannya padaku. Ayahku entah ke mana. Menurut tante, adik ibuku dia menikah lagi. Entahlah! Wajahnya pun aku tak tahu seperti apa? Sejak kecil aku hanya mengenal ibuku sebagai orang tua yang membesarkanku.
“Hmmm... boleh! Berarti kita sehati ya, sayang? Mama sudah membelikan kamu sebuah sepeda baru.”
“Bener, ma?” tanyaku memastikan.
“Iya, bener, sayang...,” jawabnya sambil menciumiku. “Sudah ada di rumah, kok sayang,” lanjutnya sambil terus menciumi aku yang belum mandi dalam gendongannya.
Hatiku bersorak kegirangan. Sudah lama aku menginginkan sepeda, tapi baru kali ini aku mendapatkannya. Slama ini aku hanya meminjam sebentar-sebentar dari teman-temanku. Itu pun kalau boleh. Kadang, aku sampai berkelahi berebutan sepeda dengan temanku.
“Heehhh...!” tubuhku diguncang-guncang oleh kedua tangan Cindy.
Aku terkejut! Lamunanku buyar. “Eeh..., Cindy...,” gumamku sedikit malu.
“Abis..., kamu dari tadi dieeem..., aja dipanggil-panggil. Tuh, mamaku ngajak kamu ngobrol dari tadi loh?” katanya sambil melemparkan senyum dan tatapan hangat ke ibunya.
“I... i... ya, tan... te, maaf,” ucapku terbata-bata dan tertunduk tak berani menatap matanya langsung.
“Kamu lulus juga, kan sayang?” tanyanya seraya menghampiriku dan membelai rambutku lembut. Ada perasaan hangat mengalir ke seluruh tubuhku. Perasaan yang sama tatkala ibu membelaiku. Aku diam terpaku merasakan perasaan yang selama ini tidak pernah lagi kurasakan. Kerinduanku pada ibuku memuncak. Aku tak kuasa menahan tangis dan mulai terisak. Air mataku menetes satu per satu.
“Lho, kok malah nangis? Ada apa sayang?” tanyanya tetap lembut dan membelaiku. Beliau mengusap air mataku dengan jemarinya. Aku semakin tak kuasa menahan tangis. Dan... tangisku meledak! Tante Clara memelukku hangat, dan penuh keheranan ia bertanya lagi,”Ada apa, sayang?”
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Clara menghampiriku dan menduga-duga sikapku, “Kamu ingat ibumu, ya?” tanyanya. Dia sangat tahu perasaanku dan kesedihan terdalam dalam hidupku. Aku hanya mengangguk ringan.
“Ooo..., iya. Tante mengerti sekarang,” ucap Tante Clara pelan dan parau. Mungkin ia juga jadi sedih terbawa oleh perasaannku, mungkin juga Cindy sudah menceritakan keadaanku kepada ibunya.
“Kamu rindu pada ibumu? Sudahlah sayang, kamu jangan menangis. Biarkan ibumu tenang di alam sana. Anggaplah tante sebagai ibumu. Kamu boleh panggil tante, mama seperti Cindy,” bujuknya menenangkan aku.
“Iya, Tante,” ucapku.
“Panggil mama, sayang...,”
“Iya, ma... ma...,” ucapku terbata-bata merasa canggung.
“Naah..., begitu kan, jadi lebih manis kedengarannya,” ujarnya sambil memeluk kami berdua.
Tante Clara dan Cindy sebenarnya tidak tahu. Aku menangis bukan hanya karena aku rindu pada ibuku. Tapi aku juga ingat akan hadiah sepeda dari ibuku di hari ulang tahunku. Ternyata hadiah itu adalah hadiah terakhir untukku. Ibuku seperti tahu kalau aku menginginkan sepeda itu dan memberikan kenangan terakhir untukku. Aku selama ini tidak tahu, bahwa ibuku sudah mengidap penyakit yang cukup parah sejak lama, hingga beberapa hari setelah hari ulang tahunku, beliau meninggalkan aku untuk selama-lamanya.
Sebelum meninggal, aku dititipkan oleh ibu pada tante adik ibuku. Tiap hari semenjak kepergian ibuku, aku slalu terpaku di depan sepeda dan menatapnya lekat-lekat, seolah bayangan ibu ada di sepeda itu.
Tapi kini... sepeda itu sudah tidak ada lagi. Aku benar-benar kehilangan ibuku. Kehilangan sepeda hadiah terakhir, di ulang tahunku yang terakhir bersamanya. Sepeda itu telah dijual entah kepada siapa oleh suami tanteku karena kesal melihatku hanya melamun dan memeganginya sepanjang hari.
Aku sampai jatuh sakit berhari-hari karena kehilangan sepeda itu. Sepeda itu kenangan terakhir ibuku. Aku ingin sekali kembali bertemu ibuku. Tiap hari aku selalu berdiri di depan pintu pagar rumah tanteku, berharap ibuku datang menyapaku dan memelukku hangat dan membawaku pulang.
Dulu aku sudah terbiasa ditinggal ibu berhari-hari dan slalu menunggu tiap kedatangannya setiap hari penuh harap. Sekarang, ibu tak akan pernah datang lagi, apalagi membawakan sepeda baru untukku lagi.
TAMAT
Kenangan buat sahabatku Jeje

2 komentar: