Cindy membuka pintu. Aku mulai mengikutinya turun dari
mobil, yg membawaku bersama teman karibku ini untuk singgah ke rumahnya.
Huuufff! Udara siang ini terasa sangat menyengat. Tidak sesejuk
di dalam mobil yg ber AC ini. “Terima
kasih banyak, Pak,” kataku kepada supir pribadi Cindy itu seraya menutup pintu
mobil kembali.
“Sama-sama, de,” balas sang supir, lalu mengendarai
mobilnya entah ke mana lagi. Mungkin ke tempat kerja ayah Cindy kembali.
Aku bersama Cindy yang tingginya hampir sama, lebih
tinggi dia sedikit, berjalan beriringan memasuki pintu gerbang yang sudah dibukakan oleh
pembantunya. Rumahnya cukup mewah untuk ukuranku, yang terbiasa tinggal di rumah
kontrakan sempit yang berada dalam gang. Di depan ada garasi dan taman kecil
yang cukup indah dan apik. Kami melewati ruang tamu yang tertata apik dengan
hiasan dinding berupa lukisan yang kurasa cukup mahal. Di ruang tengah yang
cukup luas, dengan semua perabotan yang serba modern itu, Tante Clara, ibunya
Cindy sepertinya sudah menunggunya sejak dari tadi. Aku sudah sering main ke
rumahnya ini, jadi aku sudah cukup akrab dengan Tante Clara yang cantik dan
baik hati ini, sama seperti anaknya yang juga tak kalah cantik, baik hati dan
periang. Tidak seperti aku yang kurasa wajahku biasa saja, pendiam malah
cenderung pemurung. “Bagaimana, sayang? Kamu lulus?” tanya Tante Clara pada
Cindy.
Cindy mengangguk-angguk. “Pasti dong, ma”, jawabnya.
Ibunya langsung melebarkan tangan dan menerimanya dalam pelukannya mesra.
“Kamu mau hadiah apa, sayang?” Tanya ibunya.
Kata-kata itu membuat pikiranku melayang jauh.... Aku
sudah tidak memperhatikan mereka, ibu dan anak yang masih bermesraan sambil
bercengkrama.
“Hai, Jeje sayang,” sapa ibuku. Sore itu ia baru saja
pulang setelah berjualan baju keliling selama 3 hari. Aku memang biasa
ditinggalnya sampai berhari- hari dan dititipkan pada tetangga sebelah rumah
kami Bu Tina yang baik hati. Ibuku lalu mengajak aku pulang, setelah berpamitan
Bu Tina.
“Hari ini kamu kan, ulang tahun, sayang. Kamu mau hadiah
apa?” Tanya ibuku sambil menggendong dan memelukku. Aku membalas pelukannya
hangat. Aku kangen sekali 3 hari tidak bertemu dengannya. Nyaman rasanya berada
dalam pelukan ibuku.
“Aku mau sepeda ma, boleh ga?” pintaku berhati-hati. Aku
sangat kasian pada ibuku yang hanya bekerja sendiri untuk menghidupi kami
berdua. Aku bahkan tidak berani meminta apa pun darinya kecuali memang ibu yang
memberikannya padaku. Ayahku entah ke mana. Menurut tante, adik ibuku dia
menikah lagi. Entahlah! Wajahnya pun aku tak tahu seperti apa? Sejak kecil aku
hanya mengenal ibuku sebagai orang tua yang membesarkanku.
“Hmmm... boleh! Berarti kita sehati ya, sayang? Mama
sudah membelikan kamu sebuah sepeda baru.”
“Bener, ma?” tanyaku memastikan.
“Iya, bener, sayang...,” jawabnya sambil menciumiku.
“Sudah ada di rumah, kok sayang,” lanjutnya sambil terus menciumi aku yang
belum mandi dalam gendongannya.
Hatiku bersorak kegirangan. Sudah lama aku menginginkan
sepeda, tapi baru kali ini aku mendapatkannya. Slama ini aku hanya meminjam
sebentar-sebentar dari teman-temanku. Itu pun kalau boleh. Kadang, aku sampai
berkelahi berebutan sepeda dengan temanku.
“Heehhh...!” tubuhku diguncang-guncang oleh kedua tangan
Cindy.
Aku terkejut! Lamunanku buyar. “Eeh..., Cindy...,”
gumamku sedikit malu.
“Abis..., kamu dari tadi dieeem..., aja
dipanggil-panggil. Tuh, mamaku ngajak kamu ngobrol dari tadi loh?” katanya
sambil melemparkan senyum dan tatapan hangat ke ibunya.
“I... i... ya, tan... te, maaf,” ucapku terbata-bata dan
tertunduk tak berani menatap matanya langsung.
“Kamu lulus juga, kan sayang?” tanyanya seraya
menghampiriku dan membelai rambutku lembut. Ada perasaan hangat mengalir ke
seluruh tubuhku. Perasaan yang sama tatkala ibu membelaiku. Aku diam terpaku
merasakan perasaan yang selama ini tidak pernah lagi kurasakan. Kerinduanku
pada ibuku memuncak. Aku tak kuasa menahan tangis dan mulai terisak. Air mataku
menetes satu per satu.
“Lho, kok malah nangis? Ada apa sayang?” tanyanya tetap
lembut dan membelaiku. Beliau mengusap air mataku dengan jemarinya. Aku semakin
tak kuasa menahan tangis. Dan... tangisku meledak! Tante Clara memelukku
hangat, dan penuh keheranan ia bertanya lagi,”Ada apa, sayang?”
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Clara
menghampiriku dan menduga-duga sikapku, “Kamu ingat ibumu, ya?” tanyanya. Dia
sangat tahu perasaanku dan kesedihan terdalam dalam hidupku. Aku hanya
mengangguk ringan.
“Ooo..., iya. Tante mengerti sekarang,” ucap Tante Clara
pelan dan parau. Mungkin ia juga jadi sedih terbawa oleh perasaannku, mungkin
juga Cindy sudah menceritakan keadaanku kepada ibunya.
“Kamu rindu pada ibumu? Sudahlah sayang, kamu jangan
menangis. Biarkan ibumu tenang di alam sana. Anggaplah tante sebagai ibumu.
Kamu boleh panggil tante, mama seperti Cindy,” bujuknya menenangkan aku.
“Iya, Tante,” ucapku.
“Panggil mama, sayang...,”
“Iya, ma... ma...,” ucapku terbata-bata merasa canggung.
“Naah..., begitu kan, jadi lebih manis kedengarannya,”
ujarnya sambil memeluk kami berdua.
Tante Clara dan Cindy sebenarnya tidak tahu. Aku menangis
bukan hanya karena aku rindu pada ibuku. Tapi aku juga ingat akan hadiah sepeda
dari ibuku di hari ulang tahunku. Ternyata hadiah itu adalah hadiah terakhir
untukku. Ibuku seperti tahu kalau aku menginginkan sepeda itu dan memberikan
kenangan terakhir untukku. Aku selama ini tidak tahu, bahwa ibuku sudah
mengidap penyakit yang cukup parah sejak lama, hingga beberapa hari setelah
hari ulang tahunku, beliau meninggalkan aku untuk selama-lamanya.
Sebelum meninggal, aku dititipkan oleh ibu pada tante
adik ibuku. Tiap hari semenjak kepergian ibuku, aku slalu terpaku di depan
sepeda dan menatapnya lekat-lekat, seolah bayangan ibu ada di sepeda itu.
Tapi kini... sepeda itu sudah tidak ada lagi. Aku
benar-benar kehilangan ibuku. Kehilangan sepeda hadiah terakhir, di ulang
tahunku yang terakhir bersamanya. Sepeda itu telah dijual entah kepada siapa
oleh suami tanteku karena kesal melihatku hanya melamun dan memeganginya
sepanjang hari.
Aku sampai jatuh sakit berhari-hari karena kehilangan
sepeda itu. Sepeda itu kenangan terakhir ibuku. Aku ingin sekali kembali
bertemu ibuku. Tiap hari aku selalu berdiri di depan pintu pagar rumah tanteku,
berharap ibuku datang menyapaku dan memelukku hangat dan membawaku pulang.
Dulu aku sudah terbiasa ditinggal ibu berhari-hari dan
slalu menunggu tiap kedatangannya setiap hari penuh harap. Sekarang, ibu tak
akan pernah datang lagi, apalagi membawakan sepeda baru untukku lagi.
TAMAT
Kenangan buat sahabatku Jeje
Bagus dek... Mudahan cerpen yg ini tdk dikopas tanpa izin..
BalasHapusMakasih mas. Iya, mudah-mudahan ya mas...:)
BalasHapus